Number Thirteen || Kim Taehyung (BTS), (OC)|| School Life,
Teenagers, Romance ||
(OC-nya bukan yang main di My Love From Another Star ya dan latarnya Taehyung masih SMP^^v)
“Tiga belas, itu angka sial!”
~@^-^@=Woooke, Happy
Reading All=@^-^@~
Taehyung, Kim Taehyung, itu namanya. Usianya baru sembilan
tahun kala itu. Ia baru bisa menghitung matematika dasar, serta berbagai
perkalian dasar. Bahkan untuk mengikat tali sepatunya sendiri, ia masih butuh
bantuan Ibunya.
Tapi semuanya tak masalah sejak ia bertemu – ah, kenal
dengan tetangga barunya, Min Jiyoung. Gadis bersurai hitam pekat bermata
obsidian. Gadis yang sebaya dengannya itu kerap meluangkan waktu untuk belajar
bersama, bermain bersama bahkan mengikatkan tali sepatunya sebelum ia pergi berlatih
sepak bola.
Taehyung
merasa nyaman dengannya.
Saat usianya sebelas tahun, Taehyung sudah bisa
mengikat tali sepatunya sendiri. Bahkan ia sudah pintar membantu ibunya
membereskan rumah. Tapi sayangnya, ia kehilangan Jiyoung. Sahabat perempuan
satu-satunya itu telah lebih dulu pulang.
Kadang, Taehyung merindukannya. Berharap ia
dapat bermain bersama, belajar bersama dan berharap Jiyoung mau mengikatkan
tali sepatunya lagi. Segera ia buang fikiran itu jauh-jauh. Lalu dia terkikik
geli,
Pasti nanti aku akan
takut kalau Jiyoung bangun lalu datang padaku dan mengikatkan tali sepatuku,
hii.
Jiyoung meninggalkannya di bulan ke tiga belas
setelah mereka berteman. Bahkan, Taehyung selalu mengingat tanggalnya. Mengukir
tanggalnya di pagar kayu milik tetangganya yang super bawel, bibi Nam. Jiyoung
lahir dan pergi di tanggal yang sama, tiga belas Maret.
Mengingatnya saja membuat Taehyung sebal. Dan sampai
sekarang, ia masih kesal dengan angka itu. Taehyung juga percaya jika angka
tiga belas adalah angka pembawa sial. Dia mengamati hal-hal berbau angka tiga
belas.
Di gedung apartement pamannya, tak ada lantai
tiga belas. Di sektor rumahnya, tak ada nomor rumah tiga belas. Di tim inti
sepak bola sekolahnya hanya ada dua belas anggota. Di tim sepak bola favoritnya
juga tak ada nomor punggung tiga belas. Taehyung juga yakin jika angka itu keramat
dan berhubungan dengan hal mistis.
Jadi, tiap tanggal tiga belas datang, ia selalu
bersikap sangat berhati-hati. Katanya sih, takut celaka.
Di usianya yang ke tiga belas, Taehyung merasa
sedih. Kenapa sih ia harus melawati usia yang ke tiga belas? Memang tak bisa
loncat ke usia empat belas, apa?
_________________
Taehyung selalu mengawali harinya dengan
berdoa.
Jiyoung dulu pernah bilang, dengan berdoa kita
akan lebih tenang dan aman dari sebelumnya. Kendati ibunya pernah mengatakan
hal ini sebelumnya, tapi ia lebih percaya pada Jiyoung.
Dan hari ini, tepat di mana ia melangkahkan
kakinya di sekolah baru. Dan hebatnya lagi, hari ini tanggal tiga belas, wow. Maka
Taehyung berdoa dengan amat sangat khidmat. Berharap tak ada kesialan dalam
bentuk apapun menimpanya.
Taehyung masuk di sekolah barunya. Setelah ia
mengikuti upacara penerimaan murid baru, ia dan Jimin - teman satu sekolah
lamanya menuju kelas yang telah di tentukan. Tiba-tiba, seseorang menabraknya
dari belakang. Bisa ia rasakan badan belakangnya basah. Padahal masih pagi
tapi, bajunya sudah basah duluan.
Tuh kan, tanggal tiga belas sih!
Saat ia membalikkan tubuhnya menghadap si
pelaku, amarahnya langsung menguar entah ke mana. Bahkan, rasa tega yang muncul
di hatinya saat ini. Ia kira, yang menabaraknya seorang anak jelek menyebalkan.
Tapi ternyata, seorang gadis bersurai hitam pekat yang kakinya diperban.
Ia terjatuh dengan keadaan bersimpuh. Kaki
kirinya - yang dibalut perban – berada di bawah badannya, pasti sangat sakit.
Buru-buru Jimin menolongnya. Gadis itu segera memohon maaf pada Taehyung dan
berterima kasih pada Jimin. Sementara tangan kirinya membawa sebuah botol yang
tak tertutup rapat. Mungkin, hal ini yang menyebabkan ia terjatuh.
“Mianhae,
aku tak sengaja. Mianhae” ucapnya berkali
– kali. Dan taehyung hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Cara
bicara gadis itu sama seperti Jiyoung. Warna mata serta rambutnya juga sama.
Dan entah kenapa, Taehyung merasa ada sesuatu beterbangan di dalam perutnya.
___________________
Sekarang Taehyung telah mengenali gadis yang
menabraknya tempo hari. Jeon Jihyun namanya. Manik matanya hitam obsidian,
rambutnya hitam pekat. Gayanya bicara, berjalan, menatap seseorang mirip
Jiyoung, sangat. Hanya saja, Jihyun lebih menampilkan sosok feminim.
Rambutnya yang tergerai
bebas di udara terlihat sangat lembut.
Ah, kalau disentuh
pasti halus!
Dia berjalan mendekat ke arah Taehyung yang
tengah berdiri saat ini. Ya Tuhan, rasanya Taehyung ingin terjun dari lantai
dua sekolahnya. Bisa ia rasakan dengan jelas bahwa jantungnya berpacu tiga kali
lebih cepat. Saat mereka berpapasan, helaian rambut Jihyun tertiup angin memberi
kesan anggun.
Oh, jangan lupakan caranya menyapa. Ia menoleh
ke arah Taehyung sambil menundukkan sedikit kepalanya. Senyum manis dengan
deretan gigi putih yang berjajar rapi juga terbingkai di wajahnya. Matanya
merapat membentuk lengkungan seperti senyum di bibirnya.
Dan Taehyung rasa, kata ‘Hai’ saja bisa
membuatnya terbang jauh. Mungkin jika Jimin tidak muncul setelahnya, ia bisa
kejang di tempat merasakan euforia hatinya.
Jihyun duduk di barisan tengah kelas, bangkunya
tepat di tengah juga. Ketika Jihyun mengerjakan soal, Taehyung bisa mengamati
gadis itu lebih lama dari belakang. Entah kenapa, soal bilangan berpangkat pun
rasanya sangat mudah hanya dengan menatap punggung Jihyun.
Menit demi menit Taehyung lalui. Pelajaran Choi
songsaengnim kali ini rasanya
menyenangkan. Semua soal yang tertera di papan tulis sudah ia selesaikan
sepuluh menit yang lalu. Dan sekarang, ia lebih memilih memperhatikan Jihyun
yang sedang belajar ketimbang memperhatikan sang pengajar.
“Kim Taehyung”
Mendengar namanya dipanggil, ia segera menoleh
ke sumber suara. Dan menghentikan kegiatan yang menurutnya menyenangkan.
“Kerjakan nomor tiga belas!” Titah Choi songsaengnim. Taehyung yang kaget hanya
bisa meneguk salivanya. Sementara teman-temannya yang lain memperhatikannya.
Bahkan Jimin yang duduk di sebelahnya pun begitu.
Ditatapnya rentetan soal bilangan berpangkat
itu baik-baik. Ia rasa, ia tak akan mampu menyelesaikannya. Demi tak
mengecewakan seisi kelas, Taehyung segera berdiri dan melangkahkan kakinya ke
depan.
Dan Taehyung untuk kesekian kalinya merutuki
betapa sialnya angka tiga belas. Lagi – lagi ia hanya terpekur di depan papan
tulis. Soal yang menurutnya tadi sangat mudah bisa jadi sesulit ini ketika
dikerjakan di depan kelas.
“Jeon Jihyun, bantu dia”
Jihyun segera berdiri dengan senyum khasnya.
Dan Taehyung sangat berterima kasih pada gurunya yang satu ini. Ketika Jihyun
telah berdiri di sampingnya, ia segera menggeser posisinya. Takut gadis itu
mendengar degupan liar jantungnya.
“Hei, kenapa kau diam saja?” dan Taehyung hanya
menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal. Belum sempat Jihyun membantu,
Taehyung lebih dulu mengerjakan soal tersebut. Dan entah ada angin apa, Taehyung
merasa dirinya pintar seketika.
Kalau begini sih, aku
lebih baik memperhatikan Jihyun.
___________________
Lambat laun, Taehyung mulai belajar untuk
melupakan segala bayang-bayang Jiyoung. Ia mengganti ekstrakulikulernya dengan
bola basket, bukan bola sepak lagi. Ia juga mencoba untuk menyukai angka tiga
belas.
Jihyun yang merubahnya menjadi begini. Gadis
yang mirip Jiyoung itu sangat menyukai angka tiga belas. Ia lahir di tanggal
yang sama dengan Jiyoung. Ia juga memiliki hobi yang sama dengan Jiyoung.
Sampai-sampai Taehyung merasa bahwa Jihyun adalah pengganti sosok Jiyoung
untuknya.
Pukul tiga sore, ketua basket sekolahnya
mengumumkan latihan dadakan. Dengan berat hati Taehyung menunda kembali jadwal
mainnya. Ia berkali-kali menyumpahi kakak kelasnya itu. Tentunya dalam hati,
siapa pula yang mau berhadapan langsung dengan orang macam Kim Jongin, hiiii.
Dengan tas yang tergantung di bahu kirinya, ia
masuk ke ruang ganti dengan malas. Sedikit-sedikit ia hentakkan kakinya.
Padahal, ia baru beli game baru,
terpaksa ditunda karena acara sparring
dadakan.
Sampai di lapangan, lagi – lagi amarahnya
mereda saat ia melihat Jihyun di barisan anak perempuan. Rambut panjangnya itu
dikuncir kuda. Kulitnya yang tertempa sinar mentari sore membuatnya semakin
tambah cantik.Well, menurutnya jika
ada Jihyun semua akan baik-baik saja.
Meskipun sekarang mereka terpisah jarak sekitar
tiga meter, rasa-rasanya Taehyung mampu mencium wangi parfum Jihyun. Dan
hebatnya, hal itu membuat Taehyung makin semangat menggiring bola.
Giliran Jihyun melakukan lay up. Meskipun badan gadis ini tak seberapa tapi, jangan remehkan
kemampuannya yang satu ini. Caranya mendribble
bola, melakukan offence hingga
membidik ring (?), semuanya per-fect (bagi Taehyung). Jangankan lay up, pass break pun Jihyun mampu
melakukannya.
Prittt...
“Sekarang pembagian nomor punggung. Semua
siap?!” teriak Bong Sunbae – pelatih
basket mereka. Semua anak bersorak gembira termasuk Taehyung. Agar adil, mereka
diminta memasukkan nomor favorite yang
telah tertulis di sobekan kertas masing-masing ke dalam tabung. Lalu, mereka
berdiri berurutan dari yang paling muda.
Yang paling muda diminta mengambil satu kertas.
Lalu, nomor yang tertera di sana nanti akan jadi nomor punggungnya. Jika ada
kesamaan atau kesalahan, barulah mereka diizinkan untuk menukar ataupun
mengganti nomor.
Barisan laki-laki dan perempuan tentu terpisah.
Dan Taehyung benar-benar ingin jika Jihyun dan ia bisa berbagi nomor punggung
bersama. Karena, jika ada yang bernomor punggung sama, maka mereka akan
di-pairingkan menjadi maskot team
angkatan.
Hebatnya hal itu jarang terjadi. Taehyung hanya
bisa berharap jika ia bisa mencatat rekor baru. Mungkin menjadi keren jika ia
dan Jihyun berpasangan. Jihyun shooter
perempuan utama dan, ia merupakan gelandang utama laki-laki.
“Warna seragam kali ini merah marun. Untuk yang
keberatan bisa minta ganti warna. Dan untuk senior, tahun ini tak ada seragam
baru. Maaf” kata Jongin lantang. Seketika murid kelas sembilan memberengut.
“Oke, yang merasa telah cocok dengan nomornya bisa
baris ke sisi kiri lapangan” tungkai-tungkai kecil itupun segera berlari ke
sisi kiri lapangan. Dan Taehyung tersisa sendirian di pinggir lapangan.
“Hei Taehyung, sedang apa kau?” teriak Jongin
santai. Buru-buru Taehyung bangkit lalu ikut menyusul temannya yang lain.
Segala sumpah serapah ia tujukan kepada Jongin, lagi. Dan ia baru sadar jika
dia belum membuka gulungan kertas tersebut. Ketika namanya dipanggil, barulah
gulungan itu berhasil ia buka.
“Nomor berapa kau?” tanya Bong Sunbae memastikan. Sementara
keringat-dingin telah bercucuran di pelipis Taehyung. Jika namanya dipanggil,
itu artinya nomor tak bisa ia tukar atau ganti.
Ia meneguk salivanya sendiri. Rasa takut dan
kesal bergemuruh di dadanya.“Tiga belas, hyung” Bong Sunbae dan Jongin saling pandang terkaget hingga membuat anak-anak
lain penasaran.
Naas.
________________________
Tak masalah bagi Taehyung mendapatkan nomor
sial itu. Toh, kebetulan yang ia harapkan terjadi. Jihyun juga mendapat nomor
yang sama. Dan yeah, mereka menjadi maskot angkatan mereka. Shooter
dan gelandang.
Tahun lalu, kakak kelas mereka juga pernah
mendapatkan gelar ini. Oh Sehun – si
Kapten - dan Amber Liu – si Horor,
keduanya terlihat seperti laki-laki. Padahal, Amber seorang perempuan.
Tiga minggu berselang setelah pembagian nomor,
tibalah saatnya pembagian kostum. Semua duduk bersimpuh di tepi lapangan.
Kecuali Oh Sehun, sebagai kapten dan wakil ketua, ia berhak menggantikan tugas
Jongin yang sedang terkena cacar air.
Taehyung telah membayangkan bagaimana
hari-harinya nanti menjadi, yeah,
rekan Jihyun. Setelah kostum dibagikan, sesuai rencana, Sehun akan mengumumkan
pergantian jabatan. Atas dasar votting,
siapa yang mendapat banyak suara ia akan menjadi pengurus baru.
Dan taehyung merasa masa bodoh dengan jabatan
itu. Ia tak akan mencalonkan diri menjadi pengurus. Toh, untuk apa repot-repot
begitu untuknya tak ada untung. Mungkin dewi fortuna bukan di pihaknya kali
ini. Atas dasar votting, ia terpilih
menjadi ketua basket kelas tujuh. Duh, yang benar saja? Dia saja belum lancar pivot bagaimana nanti mau jadi contoh?!
Tapi, sekali lagi Taehyung berhenti merutuki ke
sialannya. Karena, lagi – lagi Jihyun terpilih menjadi wakilnya. Dan Taehyung yakin
tugas menjadi seorang ketua tak akan sulit selama ada Jihyun di sisinya. Ugh, cheesy.
“Ih, kalian janjian ya? Dari kemarin-kemarin
selalu sama!” cibir Sehun. Dan taehyung hanya bisa menggaruk tengkuknya yang
tak gatal – anggaplah ia gerogi. “Jodoh tak akan ke mana!” teriak Amber bermaksud
meledek. Karena Amber serta Sehun, sekarang Taehyung dan Jihyun malah jadi
bahan ledekan anak-anak basket.
“Tuh, dengar! Amber hyung bilang, jodoh tak
akan ke mana!” timpal Sungjae yang langsung mendapat jitakan keras dari Amber
“Aku ini yeoja!” gelak tawa langsung
memenuhi sekitar tepi lapangan basket.
“Ssst... jodoh tak akan ke mana, pasti bertemu”
bisik Amber sekali lagi tapi kali ini ke Jihyun. “Yeah, akan bertemu di
pelaminan! Sebagai tamu, tapinya!” timpal Jimin. Dan sore itu, menjadi sore terhangat
untuk Taehyung. Bayangkan saja, pipinya bersemu merah sepanjang ia digoda
teman-temannya.
_______________________
Kenaikan kelas delapan, kali ini Taehyung
terpisah dengan Jihyun. Mereka sudah tidak satu kelas lagi. Taehyung sempat
merasa ragu apakah nantinya soal matematika jadi lebih sulit tanpa Jihyun?
Tapi, meskipun begitu Taehyung masih bisa bertemu dengan Jihyun di jam
ekstrakulikuler.
Dan yang lebih menyebalkannya, nomor absennya
sekarang tiga belas. Berbeda dengan Jihyun yang malah mendapat nomor absen lima
belas. Tapi Taehyung tetap mencoba biasa saja dengan hal itu.
“Kim Taehyung! Antarkan buku-buku ini ke lab
bahasa!”
Sebagai seorang ketua kelas, kedisiplinan dan
tanggung jawab Taehyung sangat dituntut. Jadi, dia adalah orang pertama yang
akan diminta tolong oleh guru. Dan dia sudah merasa terbiasa akan hal itu.
Baru tungkainya melangkah di sekitar koridor
kelas, suara petikan gitar menggema di telinganya. Lalu disusul suara lembut
dari seseorang yang tak familiar baginya. Pelan-pelan dia mengendap ke sumber
suara di balik tembok.
“I’m not the kind of
girl..”
Lantas, senyum terbingkai di wajahnya. Itu
Jihyun! Gadis bersurai hitam pekat bermata obsidian. Si partner yang membuat Taehyung tergila-gila. Tanpa Taehyung sadari,
kakinya bergerak sendiri untuk mendekat ke arah Jihyun. Gadis itu menghentikan
permainan gitarnya dan menyambut Taehyung dengan hangat.
“Hai” sapaan yang tak terlalu canggung
“Boleh aku...”
“Ya, silahkan” Jihyun menggeser pantatnya lalu
menyandarkan gitar tersebut ke dinding.
“Ayo, lagi!” kata Taehyung dengan antusias.
Jihyun mengernyitkan alisnya bingung.
“Ayo mainkan lagi swiftie, hmm duet ya! Everything
has changed” tanpa banyak kata, Jihyun menganggukkan kepalanya lalu mulai
memainkan lagu yang Taehyung minta.
Ah, seketika Taehyung lupa kalau Hwang Saem
memintanya mengantar setumpukkan buku ke lab bahasa.
________________________
“Kenapa kau benci angka tiga belas?” Jihyun
bertanya dengan mimik yang terbilang sangat antusias.
“Begini, di tanggal tiga belas aku kehilangan Jiyoung.
Ia sahabat terbaikku. Kau sendiri kenapa suka angka tiga belas?”
“Perlu aku jelaskan?” Taehyung mengangguk
sekali dengan matanya yang berbinar.
“Aku lahir di tanggal tiga belas, absenku di
kelas sembilan juga nomor tiga belas, nomor punggungku tiga belas, di tanggal tiga
belas bukannya kita bertemu ya?” Sekali lagi Taehyung mengangguk.
Segera ia menyergah kata-kata Jihyun, “Tapi itu
tangga sial”
“Jika itu memang sial, aku rela bahkan sangat
bersyukur. Karena, sisi positifnya aku bisa mengenalmu. Bahkan jika itu sial,
maka sangat disayangkan kalau aku tak mengalaminya”
“Maksudmu apa Jihyun?”
“Kau hanya perlu memahaminya baik-baik”
Keduanya terdiam. Mereka malah memilih untuk
menyaksikan adik kelas mereka yang sedang berlatih basket pra turnament. Hingga Jihyun kembali memecah kecanggungan yang ada.
“Kau tahu tidak?” Taehyung menggeleng tapi
tatapannya tetap tertuju pada tiga orang di tengah lapangan. Alih-alih ia
membuat dirinya sendiri grogi, ia memilih berpura-pura memperhatikan tiga anak
kelas tujuh tadi.
“Tuhan selalu menciptakan sesuatu yang memiliki
sisi positif dan negatif. Semua ditujukan untuk makhluk - Nya agar mereka
senantiasa ingat pada – Nya. Dan hal-hal yang menimpamu dengan angka tiga belas,
mungkin karena kebetulan itu semua sedang di titik negatif. Tapi, jika kau
perhatikan baik-baik, banyak kejadian yang tak terduga di tiap angka”
Kata-kata Jihyun kali ini bisa menggoyahkan
segala keyakinan Taehyung akan laknatnya angkatiga belas. Mungkin setelah ini
takhayul angka tiga belas bisa musnah dari otaknya. Taehyung memandang Jihyun
sejenak, ia bahkan tak bergeming saat Jihyun balik memandangnya dan memberinya
senyum.
“Segitu cintanya dengan matematika? Aku malah
benci” Jihyun tertawa mendengar penuturan Taehyung.
“Benci, benar-benar cinta?
Kau benar-benar cinta matematika? Whoa, daebak!”
“Aniya,
aku tak suka matematika”
“Jangan begitu, aku sudah bilang, tiap angka
ada cerita. Kau harusnya mendatangi adikku untuk konsultasi angka, Tae!”
taehyung mengernyit bingung. Mendatangi adiknya Jihyun? Si Jungkook yang
katanya hobi menulis dengan biner? Andwae,
bisa juling matanya jika ia diajak berbahasa biner. Taehyung itu manusia biasa
anti matematika, bukan seperti Jungkook si pecinta matematika.
____________________
Hari itu tepat perayaan ke lima tahun pasca
meninggalnya Jiyoung. Di pagi hari setelah Taehyung membantu ibunya menyiram
tanaman, buru-buru ia mengayuh sepada hitamnya ke areal pemakaman. Sesampainya
di sana, ia meletakan se-bucket
bunga. Lalu berdo’a sejenak sebelum ia meminta izin pada mendiang sahabatnya
itu.
Niatnya sudah bulat. Rencananya, hari ini ia
akan menyatakan perasaannya pada Jihyun. Mumpung masih ada waktu sebulan menjelang
acara kelulusan.
Kedengarannya memang menggelikan. Taehyung si
paranoid sekarang malah terihat seperti menentang keyakinannya sendiri. Ia
mendatangi pemakaman di tanggal tiga belas, lalu mencoba mengajak bicara
makhluk yang telah terkubur di sana, hiii.
Seusai berziarah, Taehyung kembali mengayuh
sepedanya menuju taman kecil di sekitar sektor sekolahnya. Sesuai rencana, ia
telah mengabari Jihyun untuk datang pada pukul
sebelas siang. Meski Jihyun suka angka tiga belas, bukan berarti ia akan
meminta Jihyun menemuinya pukul satu juga.
Setelah mendapati Jihyun datang, Taehyung
langsung berlari ke arahnya dan menarik tangan Jihyun menuju gedung
perpustakaan kota. Harusnya Jihyun marah, tapi ia memilih untuk diam karena
kelelahan mengikuti Taehyung.
“Aku ingin menunjukkanmu ini”
“Kau minta aku baca ini? Misteri angka tiga
belas, yang benar saja!”
Jihyun langsung melangkah pergi meninggalkan
Taehyung. Dengan sigap, Taehyung mengejarnya. Kembali menarik tangan mungil
gadis itu tanpa izin. Kali ini tujuan pelariannya adalah planetarium. Karena
hari itu lumayan sepi, maka tak perlu waktu lama bagi mereka untuk mendapatkan
tiket masuk.
Begitu tiket ada di tangan, Taehyung mengajak
Jihyun untuk menyaksikan bintang
gemintang di langit buatan. Jihyun yang tak tahu maksud Taehyung lagi – lagi
hanya pasrah membiarkan tangannya dibawa ke sana-sini.
“Lihat! Indah bukan?” lantas Jihyun
mendongakkan kepalanya untuk melihat rangkaian miniatur (?) angkasa.
“Kau suka?” Jihyun hanya mengangguk.
“Semua yang di atas sana lebih indah dari
matematika. Lebih indah dari angka tiga belas. Tapi, masih ada yang lebih indah
dari bintang – bintang itu” Jihyun menatap Taehyung. Memaksa laki-laki itu
untuk menuntaskan kalimatnya.
“Kamu. Iya, kamu!1 Kamu lebih indah
dari mereka” kata Taehyung tanpa ragu. Maka semburat merah muncul di kedua pipi
Jihyun seketika. Ia merasa ada seribu bahkan mungkin jutaan sayap kecil
bergemerisik di dalam perutnya.
Taehyung membuatnya kehabisan kata. Partner-nya yang satu ini memang
berbeda. Dia aneh, sangat. Tapi itu lah hal yang membuat Jihyun tertarik
padanya. Hingga suatu ketika, ia juga merasakan hal yang sama tanpa ia sadari
sendiri.
____________________
Bulan mulai naik menggantikan posisi matahari.
Tapi, mereka berdua belum juga sampai di rumah masing – masing. Taehyung masih
setia mengayuh sepeda hitamnya menuju rumah Jihyun. Sementara Jihyun sendiri
tengah kalut pada perasaannya. Maka tak ada yang bisa mereka lakukan selain
berboncengan di satu sepeda tanpa suara.
Kejadian hari ini mungkin tak akan Jihyun
lupakan. Bahkan, ini kali pertama ada seorang anak laki-laki hiperaktif yang
bilang kalau dia lebih indah dari bintang. Dan bodohnya, Jihyun malah merasa
bahagia entahlah mungkin rasanya seperti diterbangkan ke awan.
Ckiiiitt... *rem
mendadak*
“Wae?”
tanya Jihyun kaget
“Sepertinya ban ini bocor, rumahmu masih tiga
blok lagi. Mau kuantar?” Jihyun langsung turun dari sepeda tersebut. Ia
membungkukkan badannya tanda terima kasih.
“Ani,
biar aku lanjut saja. Ini sudah malam bukan? Gomawo Taehyung” lalu ia tersenyum dan berbalik badan menuju arah
rumahnya. Jujur, rasanya ia tak tega membiarkan Taehyung berdua dengan sepeda
yang kebocoran ban.
“Kau yakin?” tanya Taehyung saat Jihyun berada
di langkah ke empat. Jihyun pun menghentikan langkahnya dan berbalik, “Ne! Annyeong Taehyung, jaljayo”
Baru sampai di persimpangan jalan, ia merasa
ketakutan. Gelapnya malam bisa membuat ia dalam keadaan bahaya bukan? Terlebih,
sekarang ia malah sendirian. Tapi, Taehyung tiba-tiba muncul di sampingnya
dengan menuntun sepedanya.
“Biar ku temani. Kita kan sejalan”
BLAM!
Rasanya malu sekali. Ia telah meninggalkan
Taehyung dengan sepeda berban bocor tapi, laki-laki itu mau menemaninya pulang.
Ini tak setimpal.
Dan untuk ke dua kalinya, mereka hanya membisu
di perjalanan. Tak ada suara yang terlontar dari keduanya. Selain rasa canggung
dan suara deru angin malam yang membuat siapapun bergidik kedinginan.
Dan aksi
diam itu selesai ketika langkah mereka sampai di ambang pinu rumah Jihyun.
“Gomawo
Taehyung, maaf merepotkanmu” Jihyun membungkuk berulang merasa bersalah
“Ah, tak apa. Kalau begitu, aku pulang ya!”
Kali ini Taehyung yang membungkukkan badannya sedikit.
“Err,
kau tak mau mampir dulu?” tawar Jihyun ragu
“Gomawo,
ini sudah pukul tujuh” lagi dan lagi Taehyung tersenyum. Tahu kah ia jika ia
tersenyum Jihyun merasa darahnya berdesir hebat.
“Maksudku, ini sudah malam di luar dingin dan
gelap. Belum lagi, ban sepedamu bocor. Kau bisa bertukar sepeda dengan milik
Jungkook” Jihyun menggigit bibir bawahnya. Takut – takut ekspresi gugupnya
kentara.
“Tak apa, gomawo
Jihyun. Jaljayo” Taehyung berlalu meninggalkan
Jihyun yang masih termangu di tempatnya.
Satu langkah,
Dua,
Tiga..
“Ya!”
Teriakan Jihyun membuat Taehyung menghentikan
langkahnya dan menoleh ke belakang. Jihyun mendekat ke arah Taehyung dengan
deru nafas yang tak beraturan. Padahal, ia hanya berjalan kurang dari sepuluh
langkah.
“Boleh aku jawab sekarang?” tanya Jihyun ragu.
“Jika kau tak keberatan, tak masalah” Taehyung
tersenyum antusias
“Err..
Taehyung, aku mau”
Taehyung tersenyum sangaaat lebar. Itu untuk
menunjukkan sebesar apa rasa bahagianya saat ini. Mungkin jika ia tak bisa
mengontrol perasaan bahagianya, sepedanya kini pasti ambruk.
“Gomawo, Jihyun. Jeongmal
gomawoyo, sa-“
“Saranghae.
Na - do” jawab Jihyun malu-malu
“Sana pulang, kau bilang ini sudah malam”
Jihyun berkata tapi ia masih tertunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Ne,
gomawo! Cha – gi?”
“Hmm, Cha-
ah apa sih?” keduanya malah terkekeh bersama menyadari kecanggungan yang ada.
Dengan berani, tangan Taehyung bergerak maju
mengacak rambut Jihyun pelan. Dugaannya
benar, rambut hitam pekat ini memang sangat lembut. Dan Jihyun hanya
menggelengkan kepalanya.
“Jaljayo,
sana masuk rumah!” Jihyun menganggukkan kepalanya lalu berbalik memuju
rumahnya. Taehyung juga melakukan hal yang sama. Melanjutkan langkahnya dengan
sepeda berban bocor menuju rumah.
“Taehyung!” Jihyun memanggilnya dengan lantang.
Taehyung membalikkan badannya untuk ke dua
kalinya. Dilihatnya Jihyun memberikan love
sign dari jemari lentiknya. Maka, Taehyung pulang ke rumah dengan keadaan
hati yang sangat damai. Meskipun dingin dan gelap malam menuntunnya, itu semua
tak masalah. Baginya, saranghae dari
Jihyun sudah cukup membuat malam ini terasa hangat dan terang.
Tiga belas, itu angka sial!
Persetan dengan mitos itu. Taehyung cinta angka
tiga belas.
-fin-
Also posted in my wp acc. Thanks~

Tidak ada komentar:
Posting Komentar